Wednesday, June 3, 2015

Ternyata KUHAP Indonesia Lebih Buruk Di banding Myanmar, Menyoal Penangkapan dan Penahanan

Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia yang katanya karya agung yang memberikan kekuasaan yang besar kepada Polisi sebagai penyidik dalam melakukan upaya paksa mulai dari hal penangkapan dan penahana dan lain sebagainya. Dimana Polisi sebagai penyidik diberikan kewenangan penuh dalam penangkapan dan penahanan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana atau yang disebut sebagai tersangka tanpa harus ada izin dari Pengadilan.

Polisi sebagai penyidik diberi kewenangan untuk melakukan penangkapan dalam jangkawaktu 24 Jam dan kemudian melakukan penahanan dengan jangkawaktu dua puluh hari, apabila diperIukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari (Lihat Pasal 24 KUHAP).

Untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih diberikan untuk paling lama tiga puluh hari dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh hari (Lihat Pasal 29 KUHAP)

Dari uraian diatas, bahwa penahanan oleh Kepolisian sebagai penyidik tidak memerlukan izin dari pengadilan, dimana hanya minta perpanjangan dari Penuntut Umum, yang mana Penuntut Umum tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penolakan atas perpanjangan penahanan yang diajukan oleh penyidik kepada Penuntut. Sehingga pengajuan perpanjangan penahanan akan otomatis diperpanjang. Begitu juga kontrol dari pihak luar termasuk pengadilan.

Memang di KUHAP diatur tentang Praperadilan, yang mana bisa kita lihat mulai dari Pasal 77 sampai Pasal 83 KUHAP, pada pokoknya hanya menguji sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan dan.ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Dimana Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. 

Untuk Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. Dan untuk Permintaan ganti kerugian dan atau rehabiitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya.

Dengan menilisik berbagai pasal terkait praperadilan, bahwa mekanisme praperadilan sifatnya pasif. artinya harus ada pihak yang mengajukan ke pengadilan kemudian bisa digelar sidang pengadilan. bukan secara otomatis. Sehingga bila ada pihak dirugikan oleh pihak kepolisian dalam melakukan upaya paksa maka tidak akan terjadi koreksi dan perbaikan atas kesalahan yang sudah terjadi. sehingga bagi orang yang tidak mengerti hukum maka akan menjadi korban peradilan yang tidak adil (unfair trial). Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 yang memperluas kewenangan objek praperadilan, dimana penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan menjadi objek praperadilan. Sebelumnya mekanisme praperadilan yang terjadi hanya memeriksa kelengkapan berkas administrasi belaka terkait apakah ada surat perintah penangkapan, penahanan, penyitaan ataupun kelengkapan administrasi dalam menjalankan upaya paksa yang dimiliki oleh penyidik. Tapi meskipun demikian pengajuan permohonan praperadilannya sifatnya pasif, harus tetap diajukan ke pengadilan setempat.

Padahal Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia sebagai negara demokrasi yang berhasil setelah India dan Amerika, namun yang ternyata prinsip peradilan yang adil masih jauh dari yang diharapkan, bila dibandingkan dengan negara India dan Amerika. khususnya dalam membangun sistem peradilan pidana yang menjunjung peradilan yang adil bagi semua orang dalam mengontrol upaya paksa mulai dari penangkapan, penahanan, dan lainnya.

Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia bila kita bandingkan dengan Negara Myanmar yang masih menyerupai seperti Zaman Soeharto, dimana militer masih mempunyai kekuasaan yang besar untuk melakukan kontrol terhadap semua aspek di myanmar, namun ternyata dalam membangun konsep sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang diatur dalam KUHAP di myanmar, ternyata KUHAP indonesia masih buruk dengan KUHAP di Myanmar. padahal KUHAP yang berlaku saat ini di myanmar merupakan peninggalan inggris sebagai penjajah negara myanmar. Dimana di Pasal 47 dan 48 KUHAP Myanmar mengatakan bahwa Penahanan yang lebih dari 24 jam harus ada izin dari pengadilan dan hal ini juga dituangkan dalam di konstitusi myanmar dalam pasal 21 huruf b tiap warga negara yang ditahan lebih dari 24 jam harus izin dari suatu pengadilan dan bandingkan dengan penangkapan dan penahan di Indonesia tidak perlu izin dari pengadilan. Sehingga Penyidik yang diberi kewenangan yang begitu besar tanpa diberikan pengawasan yang memadai akan mengakibatkan penyalahgunaan kewenangan dan tidak profesional. 

Akibat penyalagunaan kewenangan dan ketidakprofesional penyidik banyak yang salah tangkap, ada penyiksaan dan bahkan informasinya penahanan menjadi bisnis bagi para penyidik atau polisi karena tidak adanya sistem pengawasan yang dibangun dengan baik khususnya dari pihak ketiga yaitu pengadilan atau yang disebut judicial scrutiny

Indonesia sebagai Negara Demokrasi yang terbesar di dunia prinsip prinsip peradilan yang adil sudah harus diwujudkan dalam semua peradilan. Karena salah satu prinisip demokrasi adalah menjunjung rule of law. Dimana rule of law dalam hal ini equality dan equity before the law serta jaminan hak asasi manusia (persamaan dihadapan hukum). Sehingga hal Ini tidak boleh ditunda lagi dan harus didorong dalam perubahan KUHAP kedepan dalam rangka menjamin hak asasi manusia dan persamaan dihadapan hukum. 












0 komentar:

Post a Comment