Wednesday, October 16, 2013

Kenapa Sistem Kerja Outsourcing Harus Dihapuskan?

Pemborongan pekerjaan (OUTSOURCING) adalah pemborongan PEKERJAAN melalui Perusahaan Pemborong pekerjaan dengan management terpisah mempunyai alat kelengkapan kerja sendiri dan tenaga kerja sendiri.

Penerapan sistem kerja Outsorcing dengan melakukan pendekatan modal dan Investasi yaitu "pasar tenaga kerja yang fleksibel" (flexible labour market), Dimana Pengusaha mengejar keuntungan yang sebesar besarnya, terhindar dari kewajiban-kewajiban, serta dan membayar upah buruh semurah mungkin.

Karena sistem outsourcing, memberi kemudahan bagi perusahaan, untuk mencari pekerja/buruh dengan upah murah, dan bila pengusaha tidak membutuhkannya maka akan mudah untuk dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Sistem kerja Outsourcing yang diatur dalam Pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan, menempatkan buruh/pekerja sebagai “sapi perahan”.

Desakan penolakan sistem kerja Outsourcing terus menerus dilakukan oleh para buruh/pekerja. Tetapi Pemerintah dan DPR RI tetap “Ngotot” untuk mempertahankan sistem kerja Outsourcing tersebut. dan diperparah lagi keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi. Lembaga kehakiman yang bertugas mengawal konstitusi, melalui putusannya No. 27 Tahun 2011 tentang pengujian pasal-pasal outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan, memutuskan outsourcing tidak bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh .

Setelah itu Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, mengeluarkan Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain. Bukannya menghapus dan menghilangkan praktik kerja outsourcing. Menakertrans semakin melegalkan sistem kerja Outsourcing. Ini membawa kerugian bagi para pekerja/buruh dan serikat buruh/pekerja.

Ironisnya , "Virus" Sistem Kerja Outsourcing tidak hanya “merasuki” di perusahaan swasta, namun juga sudah “menggerogoti” perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti di PT. Pertamina, PT. PLN (Persero), PT. Telkom, PT. ASDP, PT. Askes, PT. Merpati, PT. Jasa Marga, PT. Indofarma, PT. Gas Negara, PT. Petro Kimia Gresik, PT. KAI (Persero), dst.

Dengan adanya sistem kerja Outsourcing tersebut, maka yang dirugikan kerugian langsung adalah para pekerja/buruh dan serikat buruh karena
  1. Mendapatkan upah sangat rendah, karena perusahaan jasa penyedia melakukan pemotongan terhadap upah pekerja/buruh dari perusahaan pengguna; 
  2. Tidak ada kepastian kerja karena dikontrak terus menerus;
  3. Menimbulkan diskriminasi dengan pekerja/karyawan tetap, karena adanya perbedaan gaji; 
  4. Pekerja Outsourcing sangat rentan mengalami Pelanggaran hak-hak normatif, berupa; Jamsostek, pensiun dan cuti tidak diberikan.
  5. Pekerja Outsourcing dapat di PHK sewenang, sehingga kebebasan berserikat bagi pekerja/buruh outsourcing akan terlanggar.
Oleh karenanya, tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa sistem kerja Outsourcing bentuk perbudakan , yang mana perbudakan sama dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. karena perusahaan penyedia jasa pada dasarnya menjual manusia kepada perusahaan pengguna (user), hal ini jelas bertentangan dengan prinsip perlindungan yang diatur dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang menyebutkan : 
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”., 
Dengan demikian Sistem Kerja Outsourcing haruslah dihapuskan dengan membatalkan Pasal 64-66 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

0 komentar:

Post a Comment