Bagi gerakan buruh, menjaga dan merawat kehidupan politik demokratis yang telah dicapai
Indonesia selama 16 tahun sejak orde baru runtuh, penting untuk dilakukan. Dalam konteks politik ini, adanya kebebasan yang terjamin dan terlindungi menjadi fundamental, yang memberi ruang bagi setiap
warga negara, termasuk organisasi buruh, bisa mengekspresikan perjuangan
hak-haknya. Tanpa adanya jaminan kebebasan, seperti kebebasan untuk berserikat, berkumpul, ataupun
berpendapat, maka perjuangan itu sangat tidak mungkin bisa dilakukan.
Pada 09 Juli 2014
akan dilangsungkan pemilihan Presiden Republik Indonesia. Agenda politik ini merupakan momentum penting yang akan
menentukan masa depan rakyat Indonesia, termasuk
nasib kalangan buruh, dalam lima tahun ke depan. Apakah pemilihan Presiden baru kali ini akan menghasilkan rezim pemerintahan yang menghormati kebebasan, atau sebaliknya, malah kembali memunculkan rezim pengekang kebebasan, militeristik dan
represif.
Pengalaman politik
masa lalu menjadi pelajaran penting dan berharga bagi gerakan buruh. Di masa lalu, cara-cara represif dan militeristik seringkali
digunakan oleh rezim untuk menekan dan mengancam gerakan buruh. Kasus
pembunuhan terhadap Marsinah, seorang buruh di Sidoarjo, Wiji Thukul,
Bimo Petrus, Herman dan banyak lagi aktivis lainnya yang diculik dan hilang.
Hal tersebut merupakan contoh kekejian rezim otoritarian, bahkan, pola-pola represif itu pun acapkali terus digunakan hingga sekarang ini, seperti yang dialami buruh di
Bekasi ketika melakukan mogok nasional tahun 2013, baik melalui aparat keamanan ataupun
dengan pengerahan preman serta yang memprihatinkan lagi serikat
buruh dipandang sebagai ancaman.
Oleh karena itu, kami
memandang perhelatan Pilpres 2014 penting untuk dilihat
dan disikapi secara tepat dan benar, dengan menekankan langkah politik rasional untuk memastikan bahwa Presiden
Indonesia terpilih ke depan adalah orang yang betul-betul menghormati dan
menghargai kebebasan. Langkah itu harus diwujudkan dalam bentuk
sikap penolakan dengan tidak memilih Capres yang memiliki potensi mengancam kebebasan dan hak asasi, yakni Prabowo Subianto yang dikenal memiliki track record yang buruk dalam hak asasi manusia.
Prabowo Subianto
adalah sosok ini yang harus dimintai pertanggungjawabannya
karena diduga terlibat dalam kasus penculikan aktivis pro demokrasi 1997-1998. Adanya rekam
jejak terkait kasus pelanggaran HAM masa lalu tersebut tentunya secara jelas menunjukkan kepada kita akan rendahnya integritas dan komitmen dirinya terhadap kebebasan dan HAM.
Sehingga bagi gerakan buruh, terpilihnya Prabowo Subianto sebagai
Presiden potensial mengancam
masa depan kebebasan berserikat, berkumpul, dan berorganisasi. Kalau itu
terjadi, jangankan menuntut upah, demonstrasi.
Oleh karena itu, kami dari Gerakan Buruh Melawan Lupa
menuntut :
1) KPU untuk
mendiskualifikasi Prabowo Soebianto sebagai Capres, karena telah terbukti
sebagai salah satu pelaku Penjahat HAM
2) Semua Penjahat HAM (masa
lalu maupun masa kini) harus segera diadili dalam pengadilan HAM Ad Hoc.
Kami juga menyerukan kepada seluruh buruh dan rakyat
Indonesia, untuk bersatu-membangun konsolidasi untuk memperjuangkan penegakan
hak asasi manusia dan memastikan pelanggaran HAM tidak terjadi lagi di masa
depan.
GERAKAN BURUH MELAWAN LUPA
GSBI,
FSP LEM SPSI, KSPSI-AGN, NIKEUBA- SBSI, FEDERASI OPSI, FBLP, SERBUK, KSBSI, DPD
SPN DKI JAKARTA, KPO-PRP, POLITIK RAKYAT, PEREMPUAN MAHARDIKA, SBTPI,
PEMBEBASAN dan PPR, GSPB
Kontak:
Dian- FBLP:
081804095097, Surya- Pembebasan dan PPR: 081574304391: Neneng- GSBI:
081319513787. Maruli-LBH Jakarta: 081369350396
0 komentar:
Post a Comment