Tuesday, October 28, 2014

UPAH LAYAK IS BIG ILLUSION?

Artikel tentang upah

Persoalan upah layak, merupakan persoalan yang terjadi setiap tahunnya. Sepertinya tafsir dan pengertian upah layak antara pengusaha dan buruh sangat berbeda. Dan perbedaan sangat tajam, bagaikan langit dan bumi. Begitu juga pemerintah, tafsir upah layak dalam posisi yang gamang. Dimana argumentasi yang selalu dipakai pemerintah jangan sampai karena kenaikan upah yang terlalu tinggi perusahaan sampai gulung tikar alias tutup, yang rugi para buruh itu sendiri. Lalu kalau pemerintah begitu memperhatikan nasib para pengusaha, kenapa nasib para buruh yang hampir hidup terus menerus hidup dalam jurang kemiskinan, namun pemerintah tidak memberikan solusi, agar buruh tidak hidup lagi dalam jurang kemiskinan.

Saat ini, kalangan buruh menuntut kenaikan upah minimum sekitar 30% dan atau 50 % tentu punya argumentasi yang rasional dan yang layak. Dimana para buruh hanya mengandalkan upah untuk dapat membeli sandang, pangan dan papan. Ambil saja contohnya, kalau upah layak (UMP Jakarta) dinilai sektar 3 juta, adalah hal yang rasional. Kenapa? Sebagian besar para buruh orang-orang yang tidak mempunyai rumah (homeless) sehingga para buruh harus membayar sewa rumah minimum Rp 500.000, ditambah biaya makan sehari-hari minimum Rp 50.000x30hari= Rp 1.500.000 untuk buruh lajang. Kalau ditotal sudah mencapai Rp 2.000.000/bulan hanya bayar kontrakan dan makan. Belum kebutuhan lainnya sehingga dengan demikian penafsiran upah minimum yang berlaku di Indonesia bukanlah upah minimum menuju hidup layak. Tapi upah minimum menuju penderitaan. Padahal secara konvensi internasional yang diatur dalam Konvensi ekonomi sosial dan budaya serta Konvensi ILO yang sudah diratifikasi oleh Indonesia serta UUD 1945, setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak, yang merupakan berkewajiban pemerintah agar setiap warga dapat hidup layak. Hal tersebut dapat dilihat dalam konstitusi UUD 1945 Pasal 27 ayat 2, yang menyebutkan: 

“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Namun kewajibannya ini diabaikan oleh pemerintah, malah pemerintah menyalahkan kaum buruh yang selalu banyak menuntut tanpa memperhatikan keberlanjutan produksi dan investasi. Bukankah keberlanjutan investasi itu semestinya berbanding lurus untuk mensejahterahkan kaum buruh?. Namun faktanya, kalau perusahaan memperoleh keuntungan besar setiap tahunnya tidak otomatis para buruhnya menjadi sejahtera. Kalau pengusaha dapat rekreasi, bisa menabung, kenapa kaum buruh tidak bisa?. Padahal karena tenaga kaum buruhlah para pengusaha tersebut dapat menabung, dapat rekreasi serta bisa hidup layak. Bisakah pengusaha menjalankan usahanya sendiri tanpa bantuan kaum buruh, dipastikan tidak bisa.

Lalu apa solusinya, kalau pemerintah dan pengusaha tidak ingin menaikkan upah sekitar 30 atau 50 % setiap tahunnya, agar para buruh bisa hidup layak dan keluar dari jurang kemiskinan?. Tentu banyak caranya. Menurut pendapat para facebooker, ketika saya menanyakan hal ini melalui status yang saya tuliskan di facebook (25/10) : 
“Selain menaikkan upah. Apakah ada solusi lain untuk sejahterahkan kaum buruh. supaya tidak hidup permanen dalam kemiskinan. Please berikan komentar atau pendapatmu. #HidupLayak
Menurut pendapat facebooker solusi agar buruh bisa sejahtera selain menaikkan upah yaitu: 

1) Pendapat Facebooker dengan nama akun @Prasetiyo Endri: “Setiap warga negara diberikan rumah satu-satu secara gratis”.

2) Pendapat facebooker dengan nama akun @Alfa Dera: “Rubah gaya perjuangan para pekerja dari menuntut kesejahteraan menjadi kemandirian, dengan catatan pengelolaan dana transparan dan arah perjuangan yang jelas. Jika total anggota serikat buruh di Indonesia 1 juta orang saja, maka setiap bulan mereka iuran Rp 20.000 , lalu disisihkan Rp 5.000/bulanX 1.000.000 orang, maka dana yang terkumpul Rp 5.000.000.000/bulan. Dana tersebut kita bangunkan rumah sederhana seharga Rp 100 juta sudah berapa rumah dalam 3 tahun untuk saudara kita para pekerja atau kita buka usaha kecil yang dikelola oleh serikat pekerja agara para pekerja mandiri tanpa harus selalu jadi pekerja. selama ini perjuangan banyak dimanfaatkan oknum politik dan oknum organisasi untuk meraup keuntungan dari keringat buruh. 

3) Pendapat Facebooker dengan nama akun @Wasono Sh; “Pekerja jangan hanya terlena dengan kondisinya yang menanti gaji bulanan, tapi harus dapat berpikir kreatif dan inovatif mencoba menciptakan peluang usah. Jangan bergantung pada penghasilan semata.

4) Pendapat Facebooker dengan nama akun @Cabe Merah Pedes Pisan: “menurut pendapat kami: berikan tunjangan perumahan, tunjangan pendidikan, bonus berkala, tunjangan keluarga dan tunjangan atas kemahalan.

5) Pendapat Facebooker dengan nama akun @Pujo Laksono: “ hargo sembako murah, privatisasi milik asing.

6) Pendapat Facebooker dengan nama akun @Jhons Lentera Juang: “ Menurut saya perjuangan saat ini tak perlu nuntut upah naik, tapi yang harus dituntut adalah turunkan harga-harga barang seperti sandang, pangan, dan papan.

7) Pendapat Facebooker dengan nama akun @Revency Vania Rugebregt: Saya setuju dengan facebooker dengan akun @Jhons Lentera Juang, tidak bisa kita menuntut kenaikan upah buruh terus, gaji PNS misal dosen golongan III C aja Cuma Rp 2.300.000 per bulan dengan masa kerja 6-8 tahu. Masa buruh mintanya Rp 3.000.000 UMR nya? Yang benar saja, tidak menyampingkan keberadaan buruh yang banyak tertindas namun harus juga rasional.

8) Facebooker dengan nama akun @Pujo Laksono menimpali lagi: Gaji naik tinggi harga sembako dan kebutuhan hidup juga melambung. Itu sama aja bodong..nilai rupiahnya makin tidak ada nilainya. Coba lihat sekarang nilai uang Rp 100.000,- Cuma dapat apa untuk makan keluarga. Artinya harga-harga yang mesti dikontrol bukan naikin gaji..pemerintah kehilangan fungsinya.

9) Pendapat Facebooker dengan nama akun @Luh Erni: Belum naik upah harga barang sudah naik duluan. 



Begitu beragamnya pendapat dari facebooker, terkait solusi untuk mensejahterahkan kaum buruh selain menaikkan upah, ternyata kita bukan krisis pendapat atau krisis solusi, namun sepertinya pemerintahlah tidak mempunyai kemauan dalam mensejahterahkan kaum buruh. Kalau kondisinya demikian maka kaum buruh akan terus menerus turun kejalan untuk menuntut hak-haknya dan menuntut pemerintah menjalankan kewajibannya. Janganlah mempermasalahkan kaum buruh yang terus menerus turun kejalan melakukan demontrasi, yang mengakibatkan kemacetan bahkan bisa melumpuhkan usaha. Tapi marilah dukung dan bersatu dengan kaum buruh untuk memprotes dan mendesak pemerintah agar mensejahterahkan kaum buruh dan tidak lagi hidup dalam kubangan kemiskinan. Maka Upah layak bukanlah ilusi jika pemerintah mempunyai kemauan, meski sulit tapi bisa.

0 komentar:

Post a Comment