Thursday, August 13, 2015

Sharing Experiences on Legal Aid Work in Thailand and Myanmar by Maruli dan Ade Wahyudin



Pada hari Selasa 11 Agustus 2015, Ade Wahyudin dan Marulitua Rajagukguk mengadakan kegiatan untuk berbagi pengalaman tentang Bantuan Hukum di Thailand dan di Myanmar kepada para kawan-kawan di LBH Jakarta. Dimana mereka telah berhasil menyelesaikan program pertukaran pengacara, yang di inisiasi oleh LBH Jakarta dari Indonesia, Human Rights and Development Foundation dari Thailand dan U Kyaw Mint Law Firm dari Myanmar yang di dukung oleh Fredkorpset (FK) Norway.

Ade Wahyudin ditempatkan di negara thailand sejak bulan Agustus 2015 sampai dengan Bulan Juli 2015 dengan issue mengenai buruh migrant, dimana ia mempelajari tentang situasi dan kondisi buruh migrant dan bekerjanya bantuan hukum dalam melindungi dan memperkuat hak-hak buruh migrant di Thailand. Sedangkan Marulitua Rajagukguk ditempatkan di Myanmar sejak bulan Agustus 2014- Juli 2015 untuk belajar tentang Bantuan Hukum di Myanmar. Dimana ia belajar tentang bantuan hukum dari masa ke masa mulai dari zaman junta militer di myanmar sampai era demokrasi baru di myanmar.

Dalam kegiatan Sharing Pengalaman tersebut, Ade Wahyudin dan Marulitua Rajagukguk mempresentasikan pengalaman-pengalaman baru yang mereka dapatkan. Presentasi pertama dimulai oleh Ade Wahyudin dengan isu buruh migrant, dimana dalam presentasi yang dikemukakan oleh Ade, menurut dia ada tiga tipe buruh migrant di Thailand yaitu 1) National Verification, 2) Memorandum of Understanding (MoU) governmen to government 3) one stop service. Lebih lanjut Ade menjelaskan soal tantangan buruh migrant yang bekerja di thailand diantaranya; 1) Takut ketemu polisi, karena takut ditangkap disebabkan pengetahuan yang rendah 2) tidak punya kepercayaan diri 3) keterbatasan bahasa 4) Soal kebijakan, yang sering diganti-ganti karena situasi politik di thailand karena kudeta junta militer, 5) eksploitasi buruh migran worker yang disebabkan karena para buruh migrant tidak mempunyai dokumen atau dokumen para buruh migrant ditahan oleh para majikannya yang mana tidak dikembalikan oleh perusahaan atau majikan. 6) Tidak adanya penerjemah ketika para buruh migrant berhadapan dengan hukum. 7) Banyaknya korupsi yang dilakukan oleh pihak yang berotoritas seperti polisi, pihak imigrasi dengan minta uang jalan karena tidak mempunyai dokumen.
Ade juga menambahkan terkait kegiatan yang dilakukan oleh Human Rights and Development Foundation di thailan yaitu; 1) Membangun jaringan pengacara antara thailand dengan myanmar untuk memperkuat bantuan hukum bagi buruh migran ketika berhadapan dengan masalah. 2) membuat program pertukaran pengacara antara negara pengirim buruh migrant dengan negara yang menerima buruh migrant. 3) HRDF juga memperkuat serikat buruh yang ada di thailand. 4) HRDF juga mendorong pemerintah untuk memberikan akses bantuan hukum terhadap buruh migrant dan keluarganya di Thailand.

Permasalahan yang kerap dialami oleh buruh migrant di thailand menurut Ade Wahyudin dimulai ketika mereka dinyatakan memiliki dokumen resmi untuk bekerja di luar negeri, kemudian ketika sampai di negeri tersebut Passport para buruh migrant diambil pihak pengusaha, ketika sedang bekerja mereka bekerja mereka sering mendapatkan tekanan dan digaji murah, akhirnya banyak buruh migrant yang melarikan diri kemudian mereka menjadi buruh migrant yang tidak memiliki dokumen, dan keinginan untuk kembali kenegara asal sangat besar namun keterbatasan ekonomi, yang dengan terpaksa mereka bekerja dengan gaji kecil selama beberapa tahun, tutup Ade Wahyudin pada saat presentasi.

Kemudian presentasi selanjutnya dilanjutkan oleh Maruli, yang telah tinggal selama 1 tahun di myanmar untuk melihat dan belajar terkait situasi dan memperkuat bantuan hukum di myanmar. Menurut Maruli, mengawali presentasinya dengan mengatakan bahwa kebebasan berekspresi sangat dibatasi di myanmar dan menjadi issue yang sangat sensitif di myanmar, dimana pada saat junta militer Jenderal Ne Win menjadi sangat berpengaruh bahkan sampai saat ini kroni dan keluarganya mempunyai pengaruh besar di myanmar. Dan perusahaan besar di myanmar banya dimiliki oleh mantan Jenderal militer dan kroni-kroninya.

Pada tahun 2010, Myanmar melaksanakan pemilihan untuk pertamakali, dimana pemilihan umum hanya untuk memilih DPR sedangkan President dipilih oleh DPR ujar maruli. Lebih lanjut Maruli menjelaskan situasi di myanmar saat ini sangat mirip dengan situasi pada zaman Soeharto berkuasa di Indonesia, dimana untuk internet saja baru diizinkan untuk akses dalam menggunakan internet pada tahun 2014 dengan harga yang bisa dijangkau oleh masyarakat dan tetap masih dalam pengawasan junta militer di Myanmar.

Dalam penjelasan lanjut presentasi dari Maruli menyoroti terkait penyediaan listrik masyarakat di myanmar khususnya masyarakat di Raikhine sebagai provinsi termiskin kedua di myanmar. Dimana pasokan listrik bagi masyarakat di raikhine bagian western dari myanmar hanya 4 jam dalam satu hari. Masalah lainnya mengenai buruh di myanmar. Dimana upah di myanmar per bulan yang sudah termasuk lembur hanya sebesar 100 USD yang mana idealnya gaji para buruh tidak cukup untuk hidup layak.

Masalah lain yang cukup menari Menurut Maruli mengenai daerah perbatasan, dimana hampir setiap provinsi di daerah perbatasan memiliki tentara sendiri dan sampai saat ini masih berperang dengan tentara myanmar, yang mana mereka mempunyai wilayah khusus untuk perang untuk menghindari korban dari masyarakat sipil.

Hal lainnya, menurut Maruli menurutnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Myanmar lebih bagus daripada KUHAP di Indonesia menyoal penangkapan dan penahanan namun memang dalam implementasinya masih sangat buruk. Begitu juga dengan pengawasan terhadap Pemerintah myanmar dari lembaga yang independent seperti Ombudsman tidak ada. Sehingga issue transparansi di myanmar merupakan issue yang sensitif.

Issue lainnya, yang sensitif di Myanmar mengenai issue Hak Asasi Manusia terkait kebebasan berekspresi dan berpendapat serta kebebasan terhadap Jurnalis di Myanmar, dimana semua harus dibawah kontrol Militer. Hal lainnya yang harus menjadi agenda reformasi di Myanmar mengenai independent dan imparsialitas dari para hakim, dimana hakim tidak mempunyai kebebasan, dimana pemerintah yang memilih Hakim sehingga para hakim dibawah kontrol dari pemerintah di myanmar. Ditambah kondisi pengadilan di myanmar buruk terkait bangunan dan infrastruktur di pengadilan ditambah lagi tidak diperbolehkan untuk mengambil foro, merekam proses persidangan, tutur maruli mengakhiri presentasinya.

Kesimpulan Maruli dan Ade terkait program pertukaran lawyer tersebut, menurut mereka program pertukaran lawyer tersebut sangat positif dan perlu di lanjutkan karena akan dapat memperkuat bantuan hukum di thailand dan myanmar yang mana saat ini Negara tersebut membutuhkan sentuhan dari aktivis yang lainnya khususnya komunitas di Asean, tutup Ade dan Maruli.




0 komentar:

Post a Comment