Monday, September 14, 2015

Pernyataan Pers Koalisi Masyarakat Sipil; MoU TNI Bertentangan dengan Undang-Undang,

MoU TNI Bertentangan dengan Undang-Undang dan Agenda Reformasi Peradilan Militer adalah Mandat Rakyat”


Dua tahun belakangan ini MoU TNI dengan Kementerian dan instansi lainnya semakin marak di buat. Kurang lebih hingga kini terdapat 31 MoU TNI. Dengan dalih melakukan operasi militer selain perang (OMSP), TNI kini mulai masuk dan terlibat dalam ranah sipil dan menjalankan fungsi keamanan dengan pijakan MoU tersebut. Sayangnya, otoritas sipil baik itu pemerintah dan parlemen tidak melakukan koreksi dan evaluasi terhadap semua MoU yang ada.

Kami menilai pelibatan militer dalam operasi militer selain perang yang di dasarkan pada MoU TNI bertentangan dengan UU TNI no 34/2004. Pasal 7 ayat 3 UU TNI secara tegas menyebutkan bahwa pelaksanaan tugas operasi militer selain perang harus di dasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara dan bukan melalui MoU. 

Keputusan politik negara yang dimaksud adalah kebijakan politik pemerintah bersama-sama dewan perwakilan rakyat (DPR) yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dengan DPR, seperti rapat konsultasi dan rapat kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Penjelasan Pasal 5 UU TNI). Dengan demikian, beberapa MoU yang sudah dibuat jelas-jelas bertentangan dengan UU TNI no 34/2004.

Dengan dibentuknya berbagai MoU yang berlebihan itu maka kini TNI sudah kembali masuk dalam ranah wilayah sipil dan terlibat langsung dalam menjaga keamanan dalam negeri. Dalam beberapa kasus, TNI sudah kembali terlibat dalam aksi penggusuran, pengamanan stasiun, pengamanan kawasan industri, terlibat dalam konflik agraria dan kasus-kasus lainnya. Di sisi lain, berbagai kementerian dan instasi sipil lainnya sangat keliru jika mencoba menarik-narik militer dalam wilayah sipil guna menjaga keamanan karena itu menyalahi UU TNI sendiri.

Hasil reformasi politik 1998 yang menghasilkan TAP MPR no VII/2000 secara tegas telah memisahkan peran TNI sebagai alat pertahanan negara sedangkan dalam menjaga dan memelihara keamanan serta penegakan hukum di lakukan oleh Polri. Dengan demikian, upaya menarik TNI dalam menjaga keamanan melalui MoU TNI merupakan sebuah bentuk kemunduran bagi proses reformasi sektor keamanan.

Selain itu, tujuan pelaksanaan OMSP dengan dasar MoU yang selama ini terjadi telah bias bahkan kontraproduktif dengan upaya pembangunan tentara profesional. Sebagai contoh, MOU antara TNI-BKKBN ataupun TNI-PLN justru menambahkan pelatihan prajurit TNI untuk menjadi motivator pelayanan KB ataupun untuk pengujian batubara –sama sekali tak ada kaitan dengan penguatan profesionalisme. Kondisi semacam ini jelas-jelas sudah menyalahi raison d’ĂȘtre dari militer yang dilatih, dididik dan dipersiapkan untuk melawan musuh dalam peperangan.

Dalam kaitannya dengan tugas perbantuan militer dalam operasi militer selain perang seharunya pemerintah dan DPR perlu segera membuat undang-undang tentang tugas perbantuan militer bukan membiarkan Panglima TNI dan kementerian serta instansi lain membentuk berbagai macam MoU. 
Kebutuhan pengaturan yang komprehensif terkait tugas perbantuan militer dalam kerangka operasi militer selain perang sesungguhnya sudah jauh-jauh hari di mandatkan oleh UU TNI Pasal 7 ayat 2 (10); TAP MPR pasal 4 ayat 2; dan UU Polri Pasal 41. Ketiga regulasi tersebut mengamanatkan agar pemerintah membuat aturan tentang tugas perbantuan militer dalam kerangka OMSP pada tingkat UU ataupun PP. Sayangnya, hingga kini mandat tersebut belum kunjung dilaksanakan. Justru yang ada malah berbagai macam MoU TNI yang bertentangan dengan undang-undang.

Kami berpandangan bahwa agenda reformasi peradilan militer melalui revisi UU no 31/1997 tentang peradilan militer perlu segera dilakukan dan dimasukkan dalam agenda prolegnas 2015-2019. Sebagaimana diketahui, agenda reformasi peradilan militer melalui revisi UU 31/1997 tidak masuk dalam agenda prolegnas 2015-2019. Padahal, agenda reformasi peradilan militer sesungguhnya telah menjadi mandat rakyat yang dituangkan dalam ketetapan MPR no VII/2000. Pasal 3 ayat 4 ketetapan MPR no VII/2000 menyebutkan bahwa prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. 

Penegasan pentingnya perubahan sistem peradilan militer kembali ditegaskan dalam UU TNI sendiri. Pasal 65 Ayat (2) UU TNI menyebutkan bahwa ”prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”.

Upaya mewujudkan reformasi peradilan militer merupakan sebuah kewajiban konstitusional yang harus dijalankan pemerintah dan parlemen. Upaya mengubah peradilan militer adalah suatu langkah konstitusional untuk menerapkan prinsip persamaan di hadapan hukum secara konsisten {Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 28 Huruf d Ayat (1) UUD 1945}. Konsekuensi dari asas sama di hadapan hukum yang ditegaskan konstitusi itu adalah bahwa anggota militer yang melakukan tindak pidana umum perlu diadili dalam peradilan yang sama dengan warga negara lain yang melakukan tindak pidana umum, yakni melalui mekanisme peradilan umum.

Selama ini anggota militer yang melakukan tindak pidana umum masih diadili di peradilan militer. Dalam praktiknya, peradilan militer tak jarang menjadi sarana impunitas bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana. Sebagai sebuah sistem peradilan, mekanisme dalam peradilan militer tidak memenuhi kaidah-kaidah prinsip peradilan yang adil dan baik. Padahal, di dalam negara hukum, mekanisme peradilan mutlak bersifat independen, tidak memihak, dan tidak dipengaruhi suatu kekuasaan atau kekuatan apa pun serta harus menjamin due process of law.

Selain itu, rancangan undang-undang yang kontroversial dan berpotensi mengancam kehidupan demokrasi ternyata justru masuk di dalam Prolegnas 2015-2019 yakni RUU Rahasia Negara dan RUU Kamnas. Padahal, kedua RUU itu pernah ditolak masyarakat pada periode pemerintahan yang lalu karena dinilai akan mengancam kehidupan demokrasi dan pemajuan HAM.
Secara urgensi, RUU Rahasia negara tidak dibutuhkan karena pengaturan tentang rahasia negara secara eksplisit telah diatur dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) Nomor 14 Tahun 2008 khususnya Pasal 17 mengenai informasi yang dikecualikan. Secara substantif, ruang lingkup yang diatur dalam RUU Rahasia negara sangat luas dan bersifat karet sehingga berpotensi menghancurkan sendi-sendi kehidupan demokrasi khususnya kebebasan pers, menghambat pemberantasan korupsi dan menghambat penegakkan HAM.

Sedangkan RUU Kamnas, secara substansi akan mengancam kehidupan demokrasi dan pemajuan HAM. Persepsi ancaman keamanan nasional dalam RUU Kamnas masih mengidentifikasi warganegara yang kritis terhadap kekuasaan sebagai ancaman keamanan nasional. Hal ini tentu akan menempatkan tata sistem keamanan seperti pada masa orde baru dimana warga negara selalu dianggap sebagai ancaman bagi rezim pemerintahan yang berkuasa sehingga kebebasan dapat dikekang dan dibungkam.

Kami meminta kepada Wantimpres untuk memberikan masukan dan pertimbangan kepada Presiden agar Presiden:
  1. Melakukan evaluasi dan mencabut seluruh MoU TNI yang bertentangan dengan undang-undang.
  2. Menginstruksikan kepada Panglima TNI agar mengevaluasi dan mencabut MoU TNI yang bertentangan dengan undang-undang.
  3. Menginstruksikan kepada para kementerian agar mengevaluasi dan mencabut MoU TNI yang bertentangan dengan undang-undang. 
  4. Membentuk undang-undang tentang tugas perbantuan militer.
  5. Melakukan agenda reformasi peradilan militer melalui revisi UU no 31/1997 tentang peradilan militer.
  6.  Memasukkan agenda perubahan UU 31/1997 tentang peradilan militer dan agenda pembentukan RUU perbantuan militer dalam program legislasi nasional.
  7. Tidak memprioritaskan pembahasan dan pembentukan RUU Rahasia Negara dan RUU Keamanan Nasional.
  8. Mendesak Pemerintahan Presiden Jokowi-JK untuk menuntaskan semua kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pengadilan HAM Ad-hoc.

Jakarta, 10 September 2015
IMPARSIAL, KontraS, YLBHI, LBH Jakarta, HRWG, LBH Pers, JSKK, SETARA Institute, ELSAM, ICW, FMN, SPN

0 komentar:

Post a Comment