Pemerintah tengah gencar memberantas praktik pungli. Sejumlah ‘intel’ kabarnya juga berpencar di tempat yang terdapat posko layanan masyarakat. Mereka juga tak sungkan menyergap ketika melihat ada praktik pungli di sekitar itu. Lantas, bagaimana dengan kondisi di pengadilan, apakah pungli masih marak ditemui pasca pemerintah membentuk satgas pemberantasan pungli (Saber Pungli) beberapa waktu silam?.
Direktur LBH Bogor, Zentoni mengatakan bahwa praktik pungli di pengadilan masih marak terjadi bahkan pasca tim Saber Pungli terbentuk. Menurutnya, oknum aparatur pengadilan masih terus melancarkan aksinya meminta uang tambahan pengurusan sesuatu kepada pencari keadilan termasuk advokat tanpa peduli keberadaan tim Saber Pungli yang mungkin sedang mengamati aksinya.
Mereka hanya sebatas hati-hati saja, jadi tidak (lebih) vulgar,” ujar Zentoni saat diwawancara hukumonline, Rabu (2/11).
Kondisi tersebut juga diamini oleh mantan pengacara publik pada LBH Jakarta, Maruli Tua Rajagukguk. Di tempatnya mengabdi dulu, sempat beberapa kali menemui oknum aparatur pengadilan yang meminta ‘uang apresiasi’ misalnya untuk pengurusan mendaftarkan surat kuasa di pengadilan. Sebagaimana ‘khas’ LBH, Maruli dan kawan-kawan mengajak debat dan bertanya apa dasarnya ada uang tambahan itu. Alhasil, mereka lolos dari oknum peminta uang apresiasi tersebut.
“Di LBH (Jakarta) pernah dimintai terkait surat kuasa, mintanya Rp100 ribu. Padahal biaya surat kuasa itu hanya puluhan ribu. Kita berdebat aturannya di mana, pengadilan menjawab itu sudah kelaziman. Akhirnya ngga bayar karena protes, mereka ngga mau ribut-ribut terus dikasih gratis,” kata Maruli mengenang kisah saat masih di LBH Jakarta.
Kira-kira apa saja tips jitu lainnya yang mereka lakukan untuk menghindari pungli, berikut sejumlah tips yang berhasil dihimpunhukumonline:
1. Mutlak! Pahami Aturan Hukum Terkait
Ini hal penting pertama yang mesti dimiliki advokat. Selain karena advokat dianggap tahu hukumnya, paham aturan-aturan hukum terkait kasus tertentu yang dihadapi klien ternyata sangat membantu ketika advokat ‘dimanfaatkan’ oknum aparatur pengadilan. Ambil contoh sederhana misalnya, dalam perkara pidana, seluruh biaya penanganan perkara menjadi tanggung jawab negara seluruhnya kecuali kuasa hukum yang ditunjuk sendiri oleh klien.
Sementara, dalam perkara perdata, biaya penanganan perkara sedari awal ditanggung oleh penggugat atau para pihak mulai dari pendaftaran gugatan, pemanggilan saksi-saksi, sampai dengan eksekusi putusan tersebut. Kata Maruli, dari contoh sederhana itu advokat bisa menganalisa ketika ada biaya tambahan tidak resmi yang dipungut si oknum.
“Kalau kasus pidana, putusan itu tidak bayar, itu hak dari si terpidana. Perdata juga sebetulnya juga include dengan biaya perkara di awal. Dari perkembangan yang ada, ada yang bayar Rp1 juta, ada yang Rp5 juta (untuk ambil salinan putusan),” kata Maruli yang kini membuka firma hukum sendiri di bilangan Jakarta.
2. Jangan Mau Bayar Tanpa Bukti Tertulis
Itulah yang selalu dilakukan Maruli ketika berperkara di pengadilan, terlebih pada kasus perdata. Kata Maruli, setiap jenis transaksi yang dilakukan secara resmi pasti diterbitkan bukti transaksi tertulis dari pengadilan. Tanpa itu, advokat wajib menaruh sangsi kemungkinan biaya yang dipatok bisa jadi lebih besar dari biaya resmi yang ditetapkan lewat aturan.
“Mintalah bukti-bukti pengeluaran yang dikeluarkan oleh para pihak. misalnya dia penggugat, daftar gugatan itu harus ada Surat Biaya Panjer Perkara (Surat Kuasa Untuk Membayar/SKUM). Maka dia harus ada alat bukti tertulis, kalau tidak ada berarti biaya itu apakah sesuai dengan aturan atau tidak,” sebut Maruli.
3. Bangun Profil ‘Anti Pungli’ Sejak Awal
Oknum aparatur pengadilan tak pandang bulu ketika melancarkan aksinya meminta uang tambahan. Saat melihat ada peluang, si oknum tentu akan mencoba peruntungannya. Gagal tak masalah, si oknum akan mencoba lagi kepada orang lain. Kurang lebih seperti itulah pola pikir yang mungkin ‘tertanam’ dalam kepala si oknum.
Menurut Zentoni, advokat mesti membangun profil yang anti terhadap pungli sejak pertama kali berhubungan dengan aparatur pengadilan. Dengan begitu, aparatur pengadilan yang ‘nakal’ tidak akan lagi berani berulah macam-macam kepada si advokat di kemudian hari hingga seterusnya.
“Iya, sudah men-declare bahwa kita (tidak main pungli). Kalau di Bogor sama Zentoni jangan gitu,” katanya mencontohkan.
4. Ingatkan Soal Kasus yang Ramai
Saling mengingatkan dalam hal kebaikan sangatlah dianjurkan. Pesan itulah yang selalu diingat dan diterapkan oleh rekan dari LBH Bogor saat berhadapan dengan oknum aparatur pengadilan. Bagaimana ya caranya?
Kata Zentoni, ia acapkali mengingatkan si oknum akan kasus-kasus korupsi yang melibatkan aparatur pengadilan, seperti suap yang melibatkan paintera PN Jakarta Pusat beberapa waktu belakangan ini. Dengan cara itu, Zentoni mengaku oknum aparatur pengadilan menjadi was-was apabila ia nantinya bernasib sama dengan sejawatnya yang kini duduk di pesakitan.
“Saya bilang sama anak-anak juga (asisten pengacara di LBH Bogor), bilang aja ngga enak nanti kena kasus kaya PN di Jakarta Pusat. Kita biasanya begitu, langsung to the point. Kalau mau seperti itu silahkan, tapi kami ngga tanggung jawab,” ujar Zentoni.
5. Ancam Lapor KPK
Cara itu cukup jitu saat mengindar dari oknum peminta pungli. Selain itu, cara lain yang dilakukan oleh Zentoni dan kawan-kawan guna membuktikan keseriusannya cukup ekstrim. Dalam sebuah persidangan yang diduga ‘dimainkan’ oleh majelis hakim, Zentoni melontarkan pernyataan cukup keras dan bernada sarkas kepada sidang yang terbuka untuk umum.
“Ada juga pengalaman di persidangan, perkara itu lama. Saya bilang ke hakim, ini mau nih salah satu di antara kita ditangkap KPK? Makanya sama panitera dibilang ini ‘pengacara gila’, ya sudah saya ngga papa dibilang gila, yang penting saya ngga ikut-ikutan di situ,” kata Zentoni.
6. Jangan Nyerah, Pasang Muka Tembok Aja
Terus-menerus menghindar tak bisa dipungkiri berdampak pada diperlambatnya berkas terkait. Hal itu, biasa dialami oleh Zentoni dan kawan-kawan. Baginya, menunggu berbulan-bulan misalnya untuk meminta salinan putusan adalah hal yang tak perlu dikeluhkan lagi. Namun yang pasti, jangan pernah advokat menyerah apabila diombang-ambing dengan ketidakjelasan kapan bisa mendapatkan berkas yang diinginkan.
“Kita sampai-sampai dihadapkan, dipanggil ke ruang panitera, ke ruang hakim segala. Itu hanya untuk ambil putusan saja, disindir-sindir. Ibaratnya kita pakai muka tembok aja, akhirnya mereka nyerah sendiri,” katanya.
Pungli Sektor Pengadaan Publik
Lain advokat LBH dan eks LBH, lain pula advokat yang punya ‘spesialiasai baru’ ini. Ketua Umum DPN Asosiasi Pengacara Pengadaan Indonesia (APPI), Sabela Gayo mengatakan, bahwa modus pungli di sektor pengadaan publik justru tidak melibatkan profesi advokat secara langsung. Pada sektor ini, lazimnya pengusaha dan petugas lelang melakukan ‘
hengki-pengki’ secara head-to-head tanpa ada sedikitpun keterlibatan advokat.
“Dari advokat yang berspesialisasi pengadaan publik ini belum menemukan adanya pungli. Karena kami selaku advokat tidak setiap hari ikuti proses pengadaan, artinya kami bukan pihak yang mengadakan penawaran,” katanya kepada hukumonline, Jumat (28/10).
Meski begitu, Sabela menyebut bahwa pungli di sektor pengadaan ini paling memprihatinkan dibandingkan sektor lainnya. Bayangkan saja, fee yang diminta oleh petugas lelang pun tak tanggung-tanggung, bisa mencapai 5%-40% dari plafon anggaran. Bila plafon anggaran bernilai miliaran rupiah, berapa banyak pundi-pundi rupiah yang selama ini dikantongi para oknum.
“Ini sangat merugikan pemerintah dan semua pihak, khusunya penyedia barang jasa maupun masyarakat umum karena nantinya masyarakat akan memperoleh kualitas dan kuantitas yang tidak sesuai dengan rencana anggaran biaya maupun spesifikasinya,” sebut Sabela.
Sumber:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt581ca32c244f7/dear-lawyer--ini-6-tips-jitu-hindari-pungli-di-pengadilan.