Sunday, March 1, 2015

Buruh di Myanmar: Serikat Pekerja sebagai Alat untuk memerdekakan Buruh dari Eksploitasi Perusahaan


Oleh: Marulitua Rajagukguk[1]


Pada hari minggu tanggal 8 Februari 2015, kami dari LBH Jakarta, Human Rights and Development Foundation (Thailand), Yangon Justice Centre dan U Kyaw Mint Law Firm bertemu dengan kawan-kawan buruh yang bekerja sebagai buruh pabrik di Lamthaya sebanyak 8 orang di Kantor Lamthaya Cabang dari Kantor U Kyaw Mint Law Firm untuk wawancara dan diskusi seputar isu perburuhan yang dialami mereka.

Dalam wawancara sekaligus diskusi hangat yang kami lakukan, banyak hal yang terungkap permasalahan-permasalahan perburuhan di myanmar, yang tentu menjadi keprihatinan kita semua.

Kawan-kawan buruh tersebut menjelaskan kepada kami masa kerja mereka, dimana lama para buruh bekerja berbeda-beda, ada yang satu tahun, 3 tahun, 6 tahun, 10 bulan dan 9 bulan. Semua para buruh tersebut bekerja di pabrik, dengan jabatan yang berbeda-beda, diantaranya: Supervisor, staf serta jenis pabrik tempat mereka bekerja di sektor garmen, sepatu.

Para buruh tersebut berasal Araikhine State, dibagian barat dari myanmar..dimana jarak yang lumayan jauh dari araikhine ke Hlaing Thaya, Yangon, dimana kalau perjalanan dengan naik pesawat butuh waktu 1 jam. 

Buruh tersebut mengungkapkan salah satu hak mereka sebagai buruh adalah gaji. Para buruh setiap bulannya mendapatkan gaji per bulan untuk staf dipabrik sekitar 70 $ US sudah termasuk lembur, dan untuk para buruh yang jabatannya supervisor sekitar 100 $ US per bulan termasuk lembur..

Selain itu, para buruh mengatakan mereka tidak gabung dalam serikat pekerja/buruh, alasan para buruh belum bergabung dalam serikat pekerja/buruh karena para buruh tidak mengetahui informasi tentang serikat pekerja. Dan Buruh yang lain menambahkan selain itu para buruh yang berserikat sering diintimidasi, terancam akan dilakukan pemutusan hubungan kerja, dengan mencotohkan di perusahaannya. Dimana perusahaan beranggapan kalau serikat pekerja/buruh ada di perusahaan maka akan terjadi demonstrasi, sehingga jika ada pekerja ingin mendirikan serikat pekerja/buruh, maka pekerja tersebut akan di PHK.

Ditambahkan para buruh, bahwa jumlah pekerja di perusahaan tempat mereka bekerja sekitar 1.000 orang sampai 2.000 orang yang berlokasi di Hlaing Thaya. Selain gaji, Hak hak buruh/pekerja yang diberikan oleh perusahaan berupa diberikan 1 hari libur dalam satu minggu, adanya asuransi kesehatan, jaminan sosial, serta bonus kalau perusahaan melihat buruh/pekerja melakukan lembur dengan penuh sesuai yang dikehendaki oleh perusahaan, namun tetap saja gaji yang kami terima tidak lebih dari 100 $US, ujar para buruh.

Para buruh juga menambahkan terkait jam kerja yang dilakukan mereka sehari-harinya, dimana para buruh rata-rata bekerja selama 6 hari dalam satu minggu, dan dalam satu hari mereka harus bekerja normal dari jam 7.30am sampai dengan 6.30pm, setelah para buruh harus melakukan lembur (over time) sampai jam 11 malam, dan hal ini sifatnya wajib bagi para buruh, dan apabila ada para buruh yang membangkang maka terancam tidak mendapatkan bonus, bahkan terancam dilakukan pemutusan hubungan kerja. Menurut para buruh ada perusahaan yang hanya libur dalam satu bulan hanya 2 hari terkadang tidak ada libur dalam satu bulan.

Lebih lanjut dijelaskan para buruh, sebagian besar para pemilik perusahaan di Hlaing Thaya di yangon berasal dari china, dan taiwan. Ironisnya lagi menurut para buruh, bahwa mereka tidak mengetahui hak-haknya secara detail, karena perusahaan tidak memberikan foto copy perjanjian kerja kepada mereka, meskipun mereka menandatangani perjanjian kerja, setelah ditandatangan perjanjian kerja tersebut diambil atau ditahan oleh perusahaan. 

Selain itu, keluhan lain para buruh tersebut karena para buruh kerap pulang pada malam hari, perusahaan tidak menyediakan biaya akomodasi, meskipun ada sebagian perusahaan menyediakan transportasi kepada pekerja, namun hal itu bukanlah suatu kewajiban.

Kami kaum buruh khususnya yang ada di myanmar kerap hak-hak kami dilanggar oleh perusahaan atau dieksploitasi perusahaan, namun para buruh tidak bisa melakukan apa-apa, hanya mengadu ke supervisor atau atasan mereka, kalau supervisor tidak merespon atau responnya buruk, para buruh pasrah saja, karena kalau kami buruh protes dan melakukan demonstrasi maka kami terancam akan dilakukan pemutusan hubungan, sedangkan untuk mendapatkan kerja di myanmar sangatlah sulit serta jumlah pengangguran yang besar di myanmar. Hal yang disesalkan oleh buruh juga, Pemerintah tidak bisa melakukan apapun untuk memastikan hak-hak buruh dipenuhi berdasarkan peraturan yang berlaku di myanmar, bahkan menurut buruh Pemerintah terkesan berpihak kepada perusahaan. Kami para buruh dimyanmar sebagian besar tidak bisa berbuat apa-apa, selain mengharapkan belas kasihan dari perusahaan, mungkin suatu saat kami para buruh dimyanmar harus berserikat untuk menyatukan para buruh untuk menuntut hak-hak kami sebagai buruh yang dirampas oleh perusahaan. Karena melalui serikat pekerja/buruh, akan bisa memerdekakan para buruh untuk bebas dari eksploitasi perusahaan.


[1] Pengacara Publik di LBH Jakarta dan Sejak bulan Agustus 2014- Agustus 2015 sebagai Peserta FK Norway dalam rangka pertukaran lawyer program acces to justice, yang ditempatkan di myanmar.







0 komentar:

Post a Comment